“ALAAH! Dasar copet!”
Hanya itu yang bisa kukatakan begitu meninggalkan pintu KRL jurusan Bogor yang baru kuturuni. Tubuhku seperti habis terlindas. Lemas. Masih terasa gerakan jari-jari yang mengail saku belakang celana jinsku. Mengambil sesuatu. Aku geram. Sempat juga aku menoleh ke belakang mencari tangan jahanam. Tapi percuma. Terlalu banyak tangan yang berebut turun dari kereta. Sama banyaknya dengan manusia yang ingin menaikinya. Seolah-olah hanya itulah satu-satunya pintu keluar-masuk kereta.
Aku mengutuk diri sendiri yang bodoh terseret hiruk pikuk. Seandainya mau sejenak saja menanti kerakusan itu terhenti. Dalam hati kurelakan dompet kecil yang biasa kuselipkan di saku celana belakang. Dompet bujur sangkar itu berbentuk kotak. Warnanya coklat. Menyerupai kulit. Tepatnya kulit imitasi. Ada cetakan gambar kanguru di tutupnya. Aku membelinya di Pasar Victoria, Melbourne. Meski begitu, dompet itu buatan Cina --negara mana sih yang tak tersentuh barang buatan Cina? Maklum, harganya sesuai isi dompetku.
Dompet kecil itu biasanya kuisi uang kecil buat ongkos. Maksudnya, supaya aku tak perlu repot-repot mengeluarkan dompet besar, yang berisi uang besar. Tapi, berhubung perjalanan lumayan panjang, kemarin aku mengisinya dengan beberapa lembar uang lima ribuan. Ditambah kembalian tiket yang kubeli dengan pecahan 20 ribu. Jadi, kira-kira uang yang hilang itu beberapa puluh ribu. Tapi sudahlah, bukankah sudah kurelakan?
Aku terpaksa harus mengambil dompet besar untuk mengambil ongkos melanjutkan perjalanan. Sebelum membuka resleting tas, iseng-iseng kubuka saku depannya. Sekadar mengecek tisu, atau siapa tahu ketemu uang seribu-dua ribu yang kumasukan tergesa-gesa. Seketika hatiku seperti cairan gula yang mengeras. Dompet kecilku ternyata masih ada di sana! Jadi?
Aku berjalan menuju gerbang pengecekan karcis dengan wajah murung. Otakku mengingat-ingat barang dalam saku celana yang telah dengan halus dikail tangan jahil. Di tengah antrian, kedua tanganku sibuk mencari-cari karcis di setiap saku. Ah, copet yang malang! Ternyata dia mencopet karcis KRL! Aku memasukan karcis itu apa adanya setelah dilipat kondektur untuk dibolongi sehingga dikira lipatan uang.
Hatiku tersenyum. Pikiranku sibuk menyusun kalimat yang akan kukatakan kalau penjaga karcis menanyaiku. Selamat! Tengah hari bulan puasa begini, tiga orang petugas pengecekan karcis itu terlihat ogah-ogahan menagih. Hatiku bernyanyi mengiringi langkahku.
Peristiwa Sabtu kemarin itu adalah kali ketiga aku kecopetan. Pengalaman kecopetan pertama terjadi waktu aku masih SMP. Aku sudah lupa kelas berapa. Waktu itu aku sedang dalam bus kota bersama kakak perempuanku di Jalan Asia Afrika, Bandung. Sekalipun bus tidak terlalu penuh, kami tak kebagian tempat duduk sehingga harus berdiri.
Pencopet itu begitu cepat merogoh dompet dari saku rok jinsku. Sebenarnya rok span maksi itu tidak terlalu nyaman dipakai. Selain kainnya kaku dan tebal, seharusnya rok itu dipakai perempuan bertubuh semampai. Jadi, belahannya bisa tepat berada di belakang dengkul. Karena tubuhku pendek, belahannya jatuh di tengah betis. Jadi, kakiku seperti terseret setiap melangkah. Persis layaknya ibu-ibu yang mengenakan kain kebaya. Apa daya, rok model itu sedang tren kala itu. Aku salah satu korbannya.
Rok itu dilengkapi saku di sebelah kiri dan kanan. Sakunya tidak terlalu dalam. Selain terlihat lebih menonjol, sudut dompet Fido Dido itu juga sedikit nongol. Sehingga, tak usah menjadi copet dulu untuk mengetahui isi sakuku.
Ketika itu, untuk pertama kalinya aku merasakan tubuh yang mendadak lemas sehabis kecopetan. Tanganku bergetar halus. Aku merasa sangat kehilangan dompet kesayangan. Apalagi di dalamnya terdapat pas foto ibu dan bapak sewaktu muda. Aku mencopotnya dari KTP mereka jaman dulu. Di luar itu, copet itu dipastikan sial. Soalnya, isinya kosong melompong!
Kejadian kedua berlangsung di KRL juga. Ketika itu beberapa lembar uang ribuan yang kuselipkan begitu saja di saku celana raib. Waktu itu tubuhku tak terasa lemas. Mungkin, karena aku tak begitu merasa kehilangan.
Tapi, aku pernah merasa lebih lemas dari kecopetan Sabtu kemarin. Kejadiannya di KRL juga. Bukannya sok kaya, tapi aku melilitkan kalung emas putih kecil di leherku. Setelah berpuluh-puluh menit berdiri menunggu giliran duduk, akhirnya aku kebagian kursi. Letaknya pas di samping pintu.
Nah, sewaktu kereta itu berhenti, tiba-tiba ada tangan yang berusaha meraih leherku. Serta merta aku menekuk tubuhku ke arah berlawanan. Tangan yang tubuhnya tersembunyi di balik dinding kereta itu akhirnya hanya mampu menggoreskan kukunya di leherku. Tidak begitu sakit. Tapi, seluruh persendianku rontok. Aku seperti balon yang kehilangan udara.
Rupanya, tukang jambret itu sudah lama mengamati leherku. Soalnya, sejak tadi lelaki di seberang tempat dudukku terus berusaha berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Sayangnya, kepalaku tulalit.
Tentu aku bersyukur karena terhindar dari kehilangan-kehilangan “dunia”. Tapi, aku tak pernah menganggap kejadian-kejadian itu sebagai keberuntungan. Sebab, kenyataannya aku tak mendapat untung. Aku lebih suka menyebutnya tragedi copet-copet malang.
Kalibata, 24 Oktober 2005
No comments:
Post a Comment